Sabtu, 16 Mei 2009

METODE PENGAJARAN BAHASA YANG INOVATIF

METODE PENGAJARAN BAHASA YANG INOVATIF

I. PENDAHULUAN

Perkembangan bahasa Arab maupun Inggris sebagai bahasa Asing dan bahasa Internasional melaju sangat cepat karena kedua bahasa tersebut sering digunakan dalam komunikasi atau penghubung antar bangsa baik dalam ilmu pengetahuan, agama, maupun korespondensi perdagangan. Terlebih-lebih lagi dengan negara-negara Arab di Timur Tengah yang kaya minyak sebagai sumber ekonomi dengan petro dolarnya yang menarik manusia serta mengandung harapan cerah dalam lapangan kerja bagi mereka yang menguasai bahasa Arab secara aktif (berbicara) maupun tulis-menulis. Lebih lagi karena bahasa tersebut adalah bahasa resmi yang dipakai di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/ ( الدول المتّحدة sebagai bahasa diplomasi antar diplomat dan untuk berpidato di forum tertinggi dunia.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan sebagainya dimana penerapan Metodologi Pengajaran Bahasa Asing telah berjalan dengan baik, disertai alat-alat peraga atau media pengajaran (Audio Visual Aids) tersedia lengkap, maka dalam waktu enam bulan sampai satu tahun saja belajar bahasa Arab, orang sudah mampu mengikuti kuliah, memahami buku-buku, berkomunikasi dan berkunjung ke negara-negara Arab, bahkan menulis disertasi dengan bahasa Arab tersebut.

Perkembangan metode pengajaran bahasa asing di negara-negara maju mengalami kemajuan yang menakjubkan. Mereka sudah meninggalkan metode pengagaran bahasa yang masih tradisional menuju metode yang lebih inovatif.

Metode inovatif (baru dan banyak membuat perubahan) sering menjadi obyek pembicaraan para ahli didik, ahli bahasa, dan psikiater pada loka karya, seminar, simposium dan konfrensi pengajaran bahasa asing dari tahun ke tahun di Amerika Serikat dan Eropa.

Penulis, dalam makalah ini, mengungkap misteri berikut ini:

  1. Apakah yang dimaksud Pengajaran Bahasa yang Inovatif?
  2. Metode-Metode apa saja yang termasuk dalam Pengajaran Bahasa yang Inovatif?

II.PEMBAHASAN

A.Metode Pengajaran Bahasa yang Inovatif

Yang dimaksud dengan pengajaran Bahasa yang Inovatif adalah metode yang membawa faham-faham baru yang sekarang ini sedang dibicarakan atau dibahas di Amerika dan Eropa: yaitu: pertama, Suggestopedia, kedua, Conseling-learning, dan ketiga, the silent way[1] Metode-metode itu muncul setelah metode Audio Lingual :

Belajar bahasa melalui meltode Audio –lingual yang mempunyai tujuan utama dalam pengajaran bahasa asing seperti bahasa Arab melalui metode tersebut ialah kemahiran-kemahiran mendengarkan, mengucap selalu mampu dan mengerti[2]. Pembiasaan yang berulang-ulang terhadap bunyi dan ucapan-ucapan bahasa itu sampai menimbulkan kepekaan(sensitif) alat dria(telinga) sehingga serasi dan mudah dipahami. Meskipun pembicaraan cepat dan panjang. Dengan penyebutan huruf/kata-kata berangkai yang sukar dimengerti, tetapi bila telinga sudah terbiasa serasi dan peka terhadap bahasa atau ucapan itu maka akan mudah dimengerti. Dengan kata lain bahwa orang dewasa dengan mengikuti cara anak belajar bahasa itu yaitu dengan menirukan dan mengulang berkali-kali, dianggap cara belajar seperti burung beo.

Arsyad(1989) menegaskan dalam bukunya " Suatu Penafsiran Psikodinamik terhadap metodologi Pengajaran Bahasa Asing Inovatif" bahwa cara belajar demikian disanggah oleh Noam Choamsky, seorang ahli bahasa dari Messachusets Institute of Technology, yang menyatakan bahwa belajar bahasa yang demikian hanya mementingkan struktur permukaan (surface structure) bahasa itu saja, sedangkan makna bahasa(deep structure) itu sendiri, yang tersimpan dalam diri si pembicara terabaikan.

Sejak revolusi bahasa Coamsky ini, para ahli bahasa mulai mengalihkan perhatiannya pada segi psikologis belajar bahasa. Ahli psikologi seperti B.F. Skinner (ب.ف. سكينر ) menganggap bahwa proses belajar merupakan proses psikologis yang dapat diperoleh apabila diciptakan suasana lingkungan yang mendukung[3].

Akhirnya, muncullah metode-metode seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu:

1. Suggestopedia

Suggestopedia pertama kali diperkenalkan oleh Georgi Lozanov di Bulgaria. Selanjutnya dikembangkan di Uni Soviet, Jerman Timur, dan Hunggaria. Amerika juga telah mencoba untuk menggunakan metode ini dengan beberapa penyesuaian[4].

Kelas Suggestopedic dilakukan oleh Lozanov di Institute of Suggestology di Sofia, Bulgaria. Kelas tersebut terdiri dari kelompok kecil sekitar 12 siswa selama 4 jam secara intensif setiap hari dalam satu bulan. Setiap jamnya terdiri atas tiga bagian[5] :

  1. Pengulangan (review) dilakukan melalui percakapan (المحادثة ), permainan, atau bermain peran. Laboratorium bahasa tidak digunakan dalam bagian ini. Latihan dan koreksi saja yang dapat dilkakukan.
  2. Penyampaian materi beru didasarkan pada situasi yang familiar. Materi ini mencakup dialog panjang sekitar 10 sampai 14 halaman dengan menambahkan penjelasan tata bahasa yang penting dan terjemahan.
  3. Porsi dari Suggestopedia terbagi dua bagian:

· Guru membacakan dialog sementara siswa mengikutinya dengan menghirup udara yang dalam (Yoga). Aturannya adalah : Dua detik pertama, menterjemahkan L1 (first language), dua detik ke dua, Frasa bahasa asing dan berhenti sejenak dua detik. Ketika mendengarkan frasa bahasa asing siswa menahan nafas empat menit sambil melihat teks dan mengulang frasa bahasa asing.

· Aktivitas dari bagian ini adalah guru membaca dengan emosional dan intonasi yang indah. Siswa menutup mata dan melakukan meditasi terhadap teks diringi dengan musik klasik supaya lebih rileks. Untung mendukung proses belajar tersebut hendaknya disediakan ruangan kelas yang menyenangkan dan menarik dengan pencahayaan dan uadara yang memadai.

Metode ini sebagaimana dipakai di beberapa sekolah di Eropa atau Amerika dimaksudkan untuk membasmi sugesti dan pengaruh negatif yang tidak disadari bersemai pada diri anak didik dan untuk memberantas perasaan takut (fear) yang menurut para ahli sangat menghambat proses belajar seperti perasaan tidak mampu (feeling of incompetence), perasaan takut salah (fear of making mistakes), dan keprihatinan serta ketakutan akan sesuatu yang baru dan belum familiar (apprehension of that which is novel or unfamiliar).

Bancrop (1176) dalam Arsyad (1989: 14) mencatat enam unsur dasar dari metode ini:

a. Authority yaitu adanya semacam ثقة (يوثق بقوله وحكمه ) (gur dapat dipercaya kemampuannya) dari seorang guru, membuat murid yakin dan percaya pada diri sendiri (self confidence). Stevicxk (1979:380), salah seorang pengagum teori ini menyatakan, kalu self confidence tercipta maka rasa aman (security) terpenuhi. Klau rasa aman terpenuhi maka murid akan terpancing untuk berani berkomunikasi.

b. Infantilisasi, yaitu murid seakan-akan seperti anak kecil yang menerima authority dari gurunya. Belajar seperti anak-anak melepaskan murid dari kungkungan belajar rasional ke arah belajar yang lebih intuitif. Misalnya, penggunaan "role play" dan nyanyian dalam metode ini akan mengurangi rasa tertekan sehingga murid dapat belajar secara alamiah. Ilmu masuk tanpa disadari seperti yang dialami oleh seorang anak kecil.

c. Dual komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal yang berupa rangsangan semangat dari keadaan ruangan dan dari kepribadian seorang guru. Murid-murid duduk di kursi dan memberi semangat. Guru menghindari mimik yang menunjukkan ketidaksabaran, cemberut, sinis, dan kritik-kritik yang negatif.

d. Intonasi, guru menyajikan materi pelajaran dengan tiga intonasi yang berlainan. Dari intonasi mimik yang berbisik dengan suara tanang dan lembut, intonasi yang normal biasa-biasa sampai kepada nada suara keras dramatis.

e. Rhythm, pelajaran membaca dilakukan dengan irama, berhenti sejenak di antara kata-kata dan rasa yang disusuaikan dengan nafas irama dalam. Di sini muri diminta dan diajar untuk menarik nafas selama dua detik, menahannya selama empat detik dan kemudian menghembuskannya selama dua detik. Di sini "yoga" mempunyai pengaaruhnya yang sangat besar dalam metode ini.

f. Keadaan Pseda-Passive, pada unsur ini keadaan murid betul-betul rileks –tapi tidak tidur- sambil mendengarkan irama musik abad 18. Racle (1977) menjelaskan bahwa pada saat rileks inilah terjadi apa yang disebut "hypermnesia" di mana daya ingat menjadi kuat.

Meskipun metode tersebut sangat baik dan menarik, metode Suggestopedia menurut Amin Rasyid (1997:208) mempunyai kekurangan juga.

Kelebihan Suggestopedia :

  1. Adanya komunikasi yang orisinal di dalam kelas.
  2. Perasaan senang ketika belajar akan menumbuhkan motivasi.
  3. Siswa, di samping belajar bahasa sasaran L2 (target language), dapat meningkatkan kestabilan mental dan emosi.
  4. Pelaksanaan yang intensif akan mengurangi kesempatan kepada siswa untuk lupa.

Kekurangan-kekurangannya:

  1. Suggestopedia tidak bisa dilakukan dalam kelas yang berjumlah siswa besar.
  2. Pelakasanaannya mahal.
  3. Empat jam setiap hari dengan dialog yang panjang akan membuat siswa bosan.

Oleh karena itu, Amin Rasyid (1997:209) menegaskan bahwa metode Suggestopedia ini tidak cocok dilaksanakan di Indonesia dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kelas-kelas di Indonesia sangat besar.
  2. Kesulitan untuk menyediakan ruangan atau kelas yang memadai.
  3. Kebanyakan orang Indonesia tidak menikmati musik klasik.
  4. Menggunakan alkohol di Indonesia tidak diperbolehkan.

2. Counseling Learning Method (CLM)

CLM pertama kali dikemukakan oleh Prof. Charles Curran pada tahun 1961, dan mulai dipakai oleh Layola University, Chicago pada yahun 1967.[6]

Dengan "counseling" menurut Curran diharapkan timbulnya minat murid untuk memperoleh pandangan-pandangan baru dan munculnya kesadaran pribadi yang dapat memberikan stimulasi terhadap perkembangan di samping mempererat hubungan dengan orang lain.

Baik counseling maupun learning diharapkan dapat menyuasanai belajar-mengajar bahasa dalam kelas. Di samping itu, minat belajar dapat didorong melalui pengembangan harga diri dan perasaan dengan menekankan pengajaran pada aktivitas yang dikenal "shared Task Oriented Activity" atau "Cara Belajar Siswa Aktif Bersama". Itulah sebabnya pendukung-pendukung metode ini termasuk Curran sendiri, juga menamakan metode ini "Community Language Learning" atau "Belajar Bahasa Secara Komunitas".

Murid di dalam istilah yang dibuat Curran adalah "Client" dan guru disebut "Councelor" atau "Knower". Paul G. La Foege (1975:16) dalam Arsyad (1989:19) menggambarkan tingkatan belajar mulai awal sampai akhir :

a. Embryonic Stage


Client (murid) bergantung penuh kepada councelor (guru).

b. Self-Assertion Stage


Client (murid) mulai mempunyai keberanian berbicara beberapa kata dan frasa mulai tersimpan di dalam otak.

c. Separate Existence Stage.


Timbul rasa ketidaktergantungan murid dengan sedikit kesalahan yang dibuatnya di mana langsung diperbaiki oleh councelor.

d. Reversal Stage


Kebutuhan murid pada councelor hanya berupa idioms dan beberapa ekspresi serta tata bahasa yang pelik.

e. Independent Stage


Ketidaktergantungan murid secara total dan ia bebas berkomunikasi dalam bahasa asing.

3. The Silent Way

Dr. Gattegno mulai memperkenalkan metode ini lewat bukunya " Teaching Foreign Language in School: A Sileny Way ". Metode ini dianggap cukup unik karena bukan hanya guru yang diminta diam 90 % dari alokasi waktu yang dipakai tetapi ada juga saat-saat mana murid juga diam tidak membaca, tiodak menghayal, tidak juga menonton video akan tetapi mereka konsentrasi pada bahasa asing yang baru saja didengar.

Siswa dibiarkan saja dahulu bersalah dalam berbahasa. Gattegno dalam buku Celce Murcia (1979:32) berpendapat " One of the great imperpections of most teaching is the compulsion to require perfection at once". Artinya, salah satu ketidak sempurnaan dari kebanyakan pengajaran adalah adanya tuntutan untuk memperoleh kesempurnaan seketika.

Stevick (1982:200) menyatakan ada tiga inti dari The Silent Way:

  1. Watch (perhatikan)
  2. Give only what is needed (ajarkan apa yang dibutuhkan saja).
  3. Wait (tunggu)

Begitu pelajaran dimulai, konsentrasi diperkuat karena murid menyadari bahwa apa yang dikatakan tidak akan diulangi. Guru mengangkat balok dan berkata : A rod (الخشبُ), ia mengulangi sambil mengangkat balok-balok lain yang berlainan warna. Kemudian ia memperkenalkan warna. Selanjutnya ia meminta dengan aba-aba dua murid maju ke depan dan berkata kepada salah seorang di antara mereka: Take a blu rod ! (خذ الخشب الأزرق ), setelah ini dilaksanakan, kemudian dilanjutkan : Give it to him (أعطهِ الخشبَ ).

Isyarat kadang-kadang diberikan dalam bentuk gerak tubuh ataupun bantuan dari murid lain tanpa adanya penjelasan verbal. Guru secara berangsur-angsur berkata seminimal mungkin dan murid semaksimal mungkin.

Demikianlah tiga metode pengajaran bahasa arab yang dianggap metode yang inovatif dikarenakan baru dan penuh inovasi-inovasi. Meskipun pelaksanaannya sangat sulit untuk diterapkan pada kondisi kelas yang sangat terbatas.

III. KESIMPULAN

Pengajaran bahasa yang inovatif merupakan pengembangan metode-metode pengajaran sebelumnya yang tidak hanya melihat siswa sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang harus aktif dalam kegiatan belajar bahasa.

Metode Suggestopedia, Counceling, dan The Silent Way menuntut guru untuk lebih profesional dalam menyiapkan dan menciptakan perangkat belajar yang menyenangkan dan inovatif (penuh dengan hal-hal baru).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khuli, Ali, Muhammad., Asalib Tadris al-Lugah al-Arabiyyah. (Maliz: Farzdaq Tijary).

Arsyad, Azhar ., Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Kumpulan Makalah. (Makassar, 2002)

-----------------, Madkhal ila Turuqi Ta'limi al-Lugah al-Ajnabiyyah Li Madrasi al-Lugah al-Arabiyyah. (Ujung Pandang: Ahkam, 1998), Cet. I

-----------------, Metode Pengajaran Bahasa Arab Untuk Tingkat Pemula, Menengah, dan Mahir. Makalah ini disajikan dalam Up Grading Pengajaran Bahasa Arab di STAIN Watampone. 2001

-----------------, Suatu Penafsiran Psikodinamik Terhadap Metodologi Pengajaran Bahasa Asing Inovatif. (Jakarta: al-Qushwa, 1989), Cet. I

Dahlan, Juwairiyah., Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992).

Ibrahim, Abdul Alim,. Al-Muajjah al-Fanny li Mudarris al-Lugah al-Arabiyyah. (Kairo: Darul Ma'arif, 1968).

Ismail, Mahmud, et. al., al-Arabiyyah lin Nasyi'in. (Saudi Arabia: Kementrian Ma'arif, 1983).

Kamil, AG., Teknik Membaca Textbook dan Penterjemahan. (Yogyakarta: Kanisius, 1982).

Kasim, Amrah., Meteri Pengajaran Bahasa Arab (Untuk Tingkat Menengah dan Mahir). Makalah ini disajikan dalam Up Grading Pengajaran Bahasa Arab di STAIN Watampone. 2001

Majid, Abdul, Shalah., Ta'allumul Lugah al-Hayyah wa Ta'allumuha. (Beirut: Maktabah Lubnan, 1981).

Mansur, Ahmad, Majid, Manshur., Ilmu al-Lugah an Nafsi. (Saudi Arabia: Universitas Kerajaan Saudi, 1982).

Rasyid, Amin, Muhammad., Teaching English as a Foreign Language (TEFL) in Indonesia. (Ujung Pandang: FPBS IKIP, 1997).

Yunus, Ali, Fatahi., Tashmim Manhaj Li Ta'limi al-Lugah al-Arabiyyah lil Ajanib. (Kairo: Darul As-Tsaqafah).

Yusuf, Tayar., Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997).

Makalah

METODE PENGAJARAN BAHASA

YANG INOVATIF

DISUSUN OLEH :

SAEPUDIN, S.Ag

NIP: 150 293 649

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

PAREPARE 2004



[1] Azhar Arsyad., Suatu Penafsiran Psikodinamik Terhadap Metodologi Pengajaran Bahasa yang Inovatif. (Jakarta: Al-Quswa, 1989), hal. 12

[2] Tayar Yusuf., Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997). Hal. 151

[3] Shalah Abdul Majid., Ta'allumul Lughah Al Hayyah wa Ta'limuha Baina Nadzoriyyah wat Tatbiq. (Kairo: Maktabah Lubnan, 1981). Hal. 10

[4] Amin Rasyid., Teaching English as Foreign Language (TEFL) in Indonesia. (Ujung Pandang: FPBS IKIP UP, 1997). Hal. 205

[5] ---------------., ibid. hal 206

[6] Azhar Arsyad., op.cit. hal. 18

Urgensi Menguasai Bahasa Arab

Urgensi Menguasai Bahasa Arab

Belajar bahasa Arab memang sebuah keharusan yang layak dikuasai oleh umat Islam. Sebab sejak awal mula diturunkan ajaran Islam sampai hari ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa arab.

Al-Quran sebagai kitab suci abadi yang menghapus semua kitab suci yang pernah ada, diturunkan dalam bahasa Arab. Rasulullah SAW sebagai nabi akhir zaman yang risalahnya berlaku untuk seluruh manusia di muka bumi sampai akhir zaman, juga berbahasa arab, tanpa pernah diriwayatkan mampu berbahasa selain arab.

Hadits-hadits nabawi diriwayatkan secara berantai hingga sampai kepada kita melewati masa berabad-abad, juga tertulis dalam bahasa Arab. Bahkan semua kitab yang menjelaskan materi Al-Quran, As-Sunnah serta syariah Islamiyah hasil karya para ulama muslim sedunia sepanjang masa, juga kita warisi dalam bahasa Arab.

Ketika dakwah Islam memasuki pusat-pusat peradaban dunia dan membangun kejayaannya nangemilang, bahasa yang digunakan juga bahasa Arab. Kala itu bahasa Arab selain resmi menjadi bahasa pemerintahan, juga menjadi bahasa dunia pendidikan, bahasa ilmu pengetahuan serta bahasa rakyat sehari-hari. Padahal negeri-negeri yang dimasuki Islam itu tadinya bukan negeri Arab.

Bahkan ketika Islam masuk ke Mesir dan para penguasa dan rakyatnya masuk Islam, mereka tidak hanya sekedar memeluk Islam sebagai agama, tetapi mereka belajar bahasa Arab, berbicara dengan bahasa Arab dan melupakan bahasa asli peninggalan nenek moyang mereka. Hanya dalam tempo beberapa tahun saja, tidak satu pun bangsa Mesir yang paham bahasa asli mereka. Semua berbicara dengan bahasa Arab, bahkan hingga hari ini. Padahal Mesir itu bukan negeri Arab dan tidak terletak di jazirah Arab. Mesir terletak di benua Afrika, namun rakyat Mesir keseluruhannya berbicara dalam satu bahasa, yaitu bahasa Arab.

Bila kita amati secara seksama, memang ada kecenderungan bahwa di mana ada masuknya dakwah Islam ke suatu negeri hingga mampu mambangun peradaban besar, pastilah negeri itu berubah bahasanya menjadi bahasa Arab. Bahkan bahasa resmi negara sekaligus bahasa rakyat jelata.

Sebaliknya, negeri-negeri yang kurang sempurna proses Islamisasinya, bisa dengan mudah dikenali dari tidak adanya rakyat yang menggunakan bahasa Arab. Paling jauh hanya sekedar serapan-serapan bahasa saja, seperti bangsa kita ini. Bahasa Indonesia (termasuk Melayu) menyerap sangat banyak bahasa Arab ke dalam perbendaharaannya. Begitu banyak kata yang sumbernya dari bahasa Arab, bahkan bisa dikatakan bahwa unsur serapan dari bahasa arab termasuk paling dominan dalam bahasa Indonesia. Namun sayangnya, bangsa ini tidak sempat mampu berbahasa Arab dalam kesehariannya. Apalagi ditambah dengan penjajahan selama ratusan tahun, dimana para penjajah itu memang paham betul bahwa salah satu kekuatan agama Islam adalah pada bahasa Arabnya.

Bila suatu umat muslimin di muka bumi ini tidak bisa bahasa Arab, artinya mereka pasti tidak paham tiap ayat Al-Quran, tidak paham hadits nabi, tidak mengerti apa yang mereka baca dalam zikir, shalat dan doa. Tidak mengerti syariah Islam dan ajaran-ajarannya secara mendetail. Kecuali bila diterjemahkan terlebih dahulu dan dijelaskan satu persatu oleh kiayinya. Dan metode penerjemahan begini tentu saja sangat terbatas keberhasilannya, terlalu lemah dan justru sangat menghambat.

Karena itu, keinginan anda untuk belajar bahasa Arab dan menguasainya adalah sebuah keinginan yang teramat mulia, sehingga perlu didukung penuh. Jangan sampai keinginan itu berhenti hanya karena alasan teknis semata.

Empat Dimensi Penguasaan Bahasa Arab

Menguasai bahasa Arab itu minimal harus menguasai empat sisi.

1. Fahmul Masmu'
Maksudnya kita harus mampu memahami apa yang kita dengar. Jadi kalau ada orang Arab membacakan berita di TV atau sedang berdialog, kita mampu mengerti.

2. Fahmul Maqru'
Maksudnya kita harus mampu memahami teks yang kita baca. Sehingga buku, kitab, majalah, koran atau teks apapun yang tertulis dalam bahasa Arab, mampu kita pahami.

3. Ta'bir Syafahi
Maksudnya kitamampu menyampaikan isi pikiran kita dalam bahasa Arab secara lisan, dimana orang Arab mampu memahami apa yang kita ucapkan.

4. Ta'bir Tahriri
Maksudnya kita mampu menyampaikan pikiran kita kepada orang Arab dengan bentuk tulisan, dimana orang Arab bisa dengan mudah memahami maksud kita.

Problematika Belajar Bahasa Arab

Sebelum anda menentukan pilihan pada lembaga mana anda akan percayakan program belajar bahasa arab anda, sebaiknya anda juga belajar dari beberapa pengalaman mereka yang pernah melakukannya sebelumnya. Juga tidak ada salahnya kalau anda juga mendengarkan pengalaman mereka, baik telah sukses maupun yang gagal.

Kenyataannya memang harus diakui bahwa tekad kuat untuk belajar bahasa Arab, terutama buat kalangan muda muslim yang tidak pernah mengecap pendidikan pesantren berbahasa Arab, seringkali kandas di tengah jalan.

Di Jakarta pernah berdiri puluhan ma'had dan lembaga kursus yang mengajarkan bahasa Arab. Sayangnya, kebanyakan keberhasilannya berjalan terseok-seok, kalau tidak mau dikatakan gagal total. Umumya kurang berhasil dalam mengantarkan para siswanya untuk menjadi orang yang mahir bahasa Arab.

Biasanya, alasan paling klasik adalah lamanya masa belajar dan rasa bosan yang dengan cepat menghantui para pelajar. Apalagi ditambah dengan padatnya aktiftitas peserta di luar jam kurus, sehingga biasanya lembaga kursus itu menyelenggarakan pengajaran bahasa dengan cara non-intensif. Kursus diselenggarakan seminggu sekali, atau seminggu dua kali. Sekali pertemuan hanya 2 atau 3 jam saja. Dilihat dari sisi keintensifannya saja, sudah terbayang kegagalannya.

Semua itu kemudian dipeRprah kualitas pengajar yang umumnya juga orang Indonesia, di mana secara teori mungkin menguasai dasar-dasar gramatika bahasa Arab, tetapi secara dzauq (taste), kemampuan mereka amat terbatas. Banyak sekali para pengajar yang mampu berbicara dalam bahasa Arab, namun dengan ta'bir (cara pengungkapan) yang bukan digunakan oleh orang Arab. Sehingga orang Arab sendiri pun kalau mendengarnya agak berkerut-kerut dahinya sampai 10 lipatan.

Masalah kurikulum pengajaran pun seringkali malah menjadi faktor penghalang besar. Yaitu ketika para peserta dijejali dengan berbagai macam aturan, rumus, kaidah dan tetek bengeknya, tapi kurang praktek langsung. Bisa jadi secara teori mereka sangat paham, tapi giliran harus menggunakan bahasa itu baik secara lisan, tulisan atau pendengaran, semua jadi berantakan alias gagal total. Kasusnya mirip dengan orang yang belajar berenang secara teoritis, menguasai aturan gaya bebas, gaya kupu-kupu, gaya katak dan lainnya. Tapi giliran masuk kolam, tenggelam dan tidak timbul-timbul lagi. Sungguh menyedihkan memang.

Bahasa adalah Aplikasi

Tempat belajar suatu bahasa yang paling baik bukan di dalam sebuah lembaga kursus, juga bukan di dalam sebuah kelas. Tempat belajar yang paling baik adalah di tempat dimana semua orang berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa tersebut.

Kalau anda ingin pandai bahasa Jawa, sebaiknya anda tinggal selama beberapa tahun di Jogjakarta atau di Solo. Terutama di pedesaan dimana masyarakat dengan setia menggunakan bahasa Jawa. Di sana anda bukan hanya belajar kosa kata jawa, tetapi juga mendengar, melihat, memperhatikan, menirukan, serta beradaptasi secara langsung dengan cara komunikasi orang jawa. Sebab bahasa itu bukan sekedar kosa kata, tetapi termasuk juga tutur bahasa, cara mengungkapkan, cara melafalkan, bahkan termasuk bahasa tubuh, mimik dan intonasi. Dan semua bermula dari mendengar setiap saat ucapan. Pagi, siang, sore dan malam hari yang anda dengar hanya percakapan orang-orang dalam bahasa Jawa.

Ini adalah cara belajar bahasa yang paling alami, paling mudah dan paling berhasil. Cara ini telah melahirkan jutaan anak-anak berusia 1 tahun hingga 5 tahun yang mahir berbahasa Jawa. Jangan kaget, kalau di Jogja dan Solo, rata-rata anak kecil mahir berbahasa Jawa (?)

Dan jangan kaget juga kalau di Mesir dan negeri Timur Tengah lainnya, anak-anak mahir berbahasa Arab. Kalau anak kecil saja mahir berbahasa Arab, mengapa anda yang sudah dewasa tidak bisa bahasa Arab?

Kesimpulannya adalah bahwa belajar bahasa itu membutuhkan sebuah komunitas orang-orang yang berkomunikasi dengan bahasa itu. Dimana kita ada di dalamnya dan ikut berinteraksi secara aktif.

Lembaga kursus bahasa Arab yang paling canggih sekalipun, kalau tidak mampu menghadirkan sebuah komunitas berbahasa arab, adalah lembaga yang tidak akan mampu melahirkan lulusan yang mahir berbahasa arab.

Beberapa Contoh

Beberapa pesantren di negeri kita boleh dibilang lumayan berhasil melahirkan santri yang lumayan bisa berbahasa Arab. Katakanlah pesantren Darussalam Gontor Ponorogo (http://gontor.ac.id), tempat dimana banyak tokoh nasional kita saat ini pernah belajar. Tapi keberhasilannya memang ditunjang dengan kebehasilan menciptakan komunitas berbahasa arab. Sebab semua santri tinggal di lingkungan pondok sehari 24 jam selama minimal 6 tahun. Yaitu sejak mereka lulus SD hingga mau masuk perguruan tinggi. Dengan resiko hukuman digunduli kalau ketahuan berbicara bahasa Indonesia.

Contoh lain yang boleh dibilang lumayan sukses adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), yang merupakan sebuah ma'had pengajaran bahasa Arab di bawah naungan Universitas Islam Muhammad ibnu Suud Riyadh. LIPIA berlokasi di Jakarta, namun hampir semua pengajarnyaorang arab atau yang pernah bertahun-tahun kuliah di sana. Sehingga dari segi dzauq bahasa, ada kekuatan tersendiri. Setiap hari para mahasiswa ditenggelamkan dengan komunitas orang Arab betulan, sejak jam 7 pagi hingga jam 12 siang selama 7 tahun. Semua pelajaran disampaikan dengan bahasa Arab, meski tidak ada lagi hukuman gundul buat pelanggarnya.

Salah satu faktor keberhasilannya adalah karena setiap calon mahasiswa yang masuk diseleksi terlebih dahulu dengan sangat ketat. Hanya mereka yang lulus tes tertulis dan lisan (wawancara) dengan bahasa dan orang arab saja yang boleh kuliah disitu. Kalau sudah berhasil diwawancarai oleh orang Arab, bukankah sebenarnya sudah boleh dikatakan bisa berbahasa Arab?

Tapi LIPIA pun sempat merasakan kegagalan ketika membuka kelas non intensif yang hari kuliahnya hanya sore hari, itupun hanya 2 kali seminggu. Akhirnya, program ini dinilai kurang efektif dan tidak memenuhi target, lalu dibubarkan hingga sekarang ini. Keterangan lebih lanjur tentang LIPIA bisa anda buka di situsnya http://lipia.org

Kesimpulan

Menyimpulkan dari kisah sukses dua contoh lembaga pendidikan di atas, kuncinya adalah:

1. Adanya komunitas berbahasa arab yang tulen dan pekat

2. Masa pendidikan yang intensif, rutin dan padat

3. Waktu belajar yang cukup lama

4. Kemauan keras yang tidak pernah padam

Kunci yang terakhir itu menjadi faktor penentu terakhir, sebab tidak sedikit mereka yang sudah pernah masuk ke lembaga di atas, tetapi akhirnya tidak kuat di tengah jalan, kemudian jalan di tempat, berhenti dan mogok. Kalau keinginan yang dimiliki hanya sekedar semangat di awalnya saja, biasanya memang tidak akan bertahan lama.

Sedangkan kisah tidak sukses pengajaran bahasa asing di negeri kita adalah pelajaran bahasaInggris di SMP dan SMU. Bahkan sejak SD ditambah lagi di perguruan tinggi. Kalau dihitung-hitung, paling tidak setiap mahasiswa di negeri ini pernah belajar bahasa Inggris paling tidak selama 10 tahun. Tapi hasilnya? Sulit menemukan mahasiswa Indonesia yang mampu berbicara fasih dalam bahasa Inggris, bahkan sekedar memahami atau atau membaca teks berbahasa Inggris pun masih sangat lemah. Apalagi kalau diminta berkomunikasi langsung dengan orang yang berbahasa Inggris.

Wassalamu 'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh